Mengapa Orang Dewasa Enggan Belajar?

Diposting oleh dewasa masa kini on Senin, 19 Desember 2011


ADA ‘joke’ yang mengatakan: ‘Orang mempunyai dua telinga dan satu mulut, artinya seharusnya ia mendengar dua kali lebih banyak ketimbang berbicara’. Atau dengan kata lain, seharusnya setiap orang lebih dahulu mendengar (dengan menyimak, atau ‘listen’ dan bukan sekadar ‘hear’) dan belajar, ketimbang mempertahankan pendapat atau konsepnya sendiri. Ini namanya orang yang bijak. Tetapi, apa yang sering kita temui dalam keseharian kita?

Apakah Anda sering menjumpai hal yang saya akan ceritakan di bawah ini?
Seseorang, katakanlah bernama Ari, sudah punya konsep di kepalanya, atau mungkin sudah dituangkan dalam bentuk tulisan. Lantas ia minta komentar Anda. Ternyata komentar Anda itu tidak sejalan dengan konsep dan pendapatnya, atau mungkin sejalan tetapi punya nuansa lain. Apa yang dilakukan Ari? Lepas dari apakah komentar dan pendapat Anda itu secara objektif lebih mengena dan lebih baik, Ari tidak bisa menyimak (listen) hal itu. Ia ‘tidak mendengar’ lebih dahulu, ia tidak mau belajar dari Anda; ia mempertahankan konsep dan pendapatnya lebih dahulu. Nah, dalam hal begini, akan terjadi dua kemungkinan:
Pertama, Anda tidak berniat meladeninya lagi, dalam hati Anda membatin: “Kamu minta pendapatku, sudah kuberikan, kamu nggak mau dengar, ya situlah...”
Kedua, Anda mempertahankan pendapat Anda, karena Anda tahu secara objektif memang lebih baik dan lebih mengena; maka yang kemudian terjadi, Ari akan semakin mempertahankan pendapatnya. Jika akhirnya ia kalah beradu argumentasi dengan Anda, ia akan merasa tidak puas, mungkin ia lantas jadi semakin berkeras dengan pendapatnya, atau ia akan mundur, tetapi dengan perasaan tidak senang.
Ari sedang mengalami ‘proses pembelajaran’ dan ia tidak dapat, atau tidak mau belajar. Entah apa pun alasannya.

Ini adalah salah satu ciri ‘Pembelajaran pada Orang Dewasa’ yaitu ‘orang dewasa tidak bisa begitu saja mau (dan dapat) belajar’; suatu keengganan untuk belajar dari orang lain.
Saya menyadari adanya keengganan belajar pada orang dewasa pada suatu sesi fasilitasi yang sedang saya lakukan di forum internasional di Nagoya, Jepang. Itu adalah sesi pelatihan bagi para calon fasilitator dari negara-negara berkembang di Asia. Dan itu pertama kali saya menjadi fasilitator di forum internasional.
Sebagai fasilitator, saya dilatih untuk menanamkan prinsip fasilitasi kepada peserta pelatihan itu, sebagai berikut:
“Jika kamu hanya mendengar, kamu akan melupakannya; jika kamu mendengar dan melihat, kamu akan mengingatnya, tetapi kamu belum tentu terampil. Jika kamu mendengar, melihat, dan melakukan, kamu akan ingat dan terampil, tetapi kamu belum tentu mau melakukannya; jika kamu menemukan sendiri (‘discover’), kamu akan mau melakukannya, dan dengan begitu kamu punya niat untuk mendengar, melihat, menjadi terampil.”
Jadi, prinsip ‘audio-visual’ yang adalah ‘mendengar-dan-melihat’ tidak cukup jika sesi Anda dimaksudkan untuk membuat peserta sesi kelak mau melakukannya atau jika tujuan sesi Anda adalah perubahan perilaku, bukan sekadar alih pengetahuan. Bahkan jika ditambahkan juga ‘praktik’ yang adalah melakukan agar terampil, masih tidak menjamin peserta kelak mau melakukannya. Hanya jika mereka merasa menemukan sendirilah mereka mau melakukannya. Dan melalui kemauan itu, mereka akan jadi mau belajar.
Dengan prinsip itulah saya menjalankan fasilitasi kepada peserta, yaitu calon-calon fasilitator itu. Ini memang suatu “training for the trainees”. Atau lebih tepat: “Facilitating for the Facilitators”.

Apa yang terjadi setelah berselang satu tahun sejak sesi tentang prinsip fasilitasi ini saya berikan? Dari 20 peserta pelatihan saat itu, yang benar-benar mau menerapkan prinsip fasilitasi secara benar hanya empat orang. Ketika kami mengadakan reuni, dan dilontarkan pertanyaan ‘mengapa prinsip fasilitasi ini tidak dilakukan’ sebagian besar jawabnya mulai dari ‘terlalu sulit’ sampai ‘tidak terbiasa’, yang prinsipnya enggan melakukannya.
Jadi, fasilitasi yang saya berikan selama waktu 40 hari itu akhirnya hanya menjadi ‘alih pengetahuan’, tetapi tidak berhasil mengubah perilaku atau mengubah pandangan dan prinsip, kecuali dalam diri empat peserta, yang benar-benar melakukannya dalam pelaksanaan pelatihan-pelatihannya. Bahkan, para calon fasilitator sendiri masih enggan belajar dari orang lain (saya), walaupun pada penggalian lebih dalam mereka mengakui prinsip fasilitasi yang saya berikan itu sebenarnya memang yang terbaik.

Ketika saya menceritakan hal itu kepada mantan pelatih saya, Yoshi Ikezumi, yang adalah seorang Jepang, ia cuma tersenyum dan berkata seraya menepuk bahu saya: “Sorry, itu karena kamu orang dari Indonesia, sama-sama negara berkembang...”
Karena penasaran, saya melanjutkan bertanya: “Seandainya kamu yang memfasilitasi mereka saat itu, berapa kira-kira yang akan melakukannya?”
Ia termenung sejenak, lalu menjawab dengan tertawa: “Saya kira.... saya tidak tahu benar, tetapi mungkin ya memang... empat orang juga, ya keempat-empatnya itu tadi ...” Lalu ia melanjutkan: “Di dunia ini ada 10% orang yang sudah pandai, tetapi masih mau belajar dari orang lain – siapapun itu, dan ada 10% orang yang menyadari dirinya bodoh dan mau belajar dari orang lain – siapapun itu.
Mereka adalah keempat orang dari 20 peserta tadi.
Lalu ada 10% orang yang sudah pandai dan tidak merasa perlu belajar lagi, apalagi dari orang yang tidak dipandangnya sebelah mata, kemudian 10% lagi yang bodoh dan tidak mau belajar, atau tidak mampu belajar lagi.
Sisanya sebanyak 60% adalah ‘orang-orang biasa’ yang angin-anginan, yang belajar seadanya saja, melakukan jika tidak banyak tentangan, tidak melakukan tanpa merasa terbeban.
Hanya jika kita dibantu oleh yang 20% yang sudah mau belajar itulah kita akan bisa meningkatkan jumlah peserta yang pada akhirnya jadi mau belajar. Itu namanya ‘menang karena jumlah’. Jadi siapapun fasilitatornya, jika hanya mengandalkan diri kita sendiri, angka keberhasilan hanyalah berkisar 20%. Jika kita ingin meningkatkan angka keberhasilan kita itu, ajaklah yang 20% itu untuk bersama kita ‘menang dalam jumlah’ untuk menarik sisa yang 60% itu.”

Maka dalam acara reuni itu, bersama Mr. Yoshi saya menggerakkan keempat peserta tadi, mengajak segenap peserta untuk sekali lagi menggumuli dan menghayati apa yang dinamakan “Fasilitasi” serta “Adult Learning”.
Pada akhirnya sisa 16 peserta pelatihan yang enggan menjalankan prinsip fasilitasi dengan segala alasannya itu, semuanya menyusun tekad untuk melaksanakan prinsip fasilitasi, betapapun sulitnya dalam tugas-tugas fasilitasi mereka di tahun-tahun mendatang.

Keengganan belajar (pada orang dewasa) bermula dari ‘tidak menemukan sendiri’. Kegagalan saya dalam pelatihan itu adalah, saya tidak berhasil membuat mereka menemukan sendiri metode fasilitasi itu. Mereka menemukannya karena mendengar dari saya, karena ‘diajari oleh saya’. Barangkali itu jadi menyangkut ‘harga diri’.

Orang dewasa umumnya perlu “kecebur atau terperosok (Jawa: ‘kejeblos’) sendiri” dahulu sebelum mau melakukan sesuatu. Hanya sekitar 10-20% saja yang ‘cerdik’, tidak merasa perlu kecebur sendiri, tetapi mau mendengar dan belajar dari orang lain.

Sekarang cobalah Anda merefleksikan ke dalam diri Anda sendiri.
Anda mengikuti sebuah ceramah ‘audio-visual’ yang sangat bagus dari seorang ahli yang Anda kagumi. Anda memuji ceramahnya; Anda jadi mengerti ilmu yang ia bagikan, tetapi ketika Anda keluar dari ceramah itu, berapa besarkah niat Anda untuk melakukannya setiba Anda di rumah? Berapa besarkah niat itu setelah berselang seminggu? Sebulan? Berapa besarkah niat itu jika penceramahnya seorang yang ‘biasa-biasa saja’ atau bahkan sekelas dengan Anda, betapapun bagusnya materi yang ia sajikan?
Tampaknya kehebatan atau nama besar seorang penceramah hanya berpengaruh pada: Anda bersedia meluangkan waktu untuk mendengar (alih pengetahuan), bukan pada: Anda bersedia mengubah perilaku Anda. Jika penceramah hanya dipandang sebelah mata oleh Anda (karena sederajat atau bahkan di bawah tingkatan Anda), kesediaan Anda untuk mendengar sudah menurun sangat jauh. Tetapi pada kedua hal itu efeknya tetap saja bukan pada perubahan perilaku usai ceramah. Kesediaan untuk perubahan perilaku memang hanya bergantung kepada pribadi masing-masing orang, bukan kepada penceramah.*****

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar